Thursday, December 12, 2013
Browse »
home»
hukum
»
koruptor
»
mati
»
HUKUM MATI KORUPTOR

HUKUM MATI KORUPTOR
       Syahdan, di awal-awal kepemimpinan pada 1997, Perdana Menteri RRC Shu  Rongji berpidato, “Beri saya 100 peti mati, 99 akan saya gunakan untuk  mengubur para koruptor, dan satu untuk saya kalau saya melakukan  tindakan korupsi.”

    Sebaris kalimat dari seorang pemimpin negara yang  kemudian begitu melegenda dan menjadi spirit luar biasa bagi  keberhasilan Cina dalam perang besar menghancurkan korupsi di negara  tirai bambu itu. Zhu Rongji secara revolusioner memulai reformasi ‘bukan  basa-basi’ dengan dimulai dari diri sendiri. Keteladanan dan ketegasan  menjadi kekuatan utama komitmen khas turun temurun falsafah bangsa  Cina. 
     Tak heran, dalam tempo tak lebih dari satu  dasawarasa RRC berhasil menekan angka korupsi sampai ke titik terendah,  untuk kemudian di dasa warsa selanjutnya hingga hari ini, RRC tumbuh  menjadi raksasa ekonomi yang bahkan disinyalir bakal mengancam dominasi  negara adidaya Amerika. 
    Lain di Cina, lain pula di Indonesia. Dalam hampir  banyak hal, bangsa nusantara masih harus belajar ekstra keras dari  bangsa Cina, termasuk di dalamnya dalam pemberantasan korupsi. Bagaimana  tidak, reformasi perang besar anti korupsi di Cina dengan Indoneisa  boleh dikatakan berawal balok start yang sama. 
    Cina 1997, bahkan Asia, termasuk Indonesia, kala itu  senasib sepenanggungan tengah mengalami fase-fase kritis menghadapi  dampak krisis ekonomi global. Hanya saja secara historis tonggak  reformasi Indonesia ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto pada Mei  1998.
    Tragis dan ironis, 14 tahun telah berlalu, agenda  utama KKN (Korupsi-Korupsi-Nepotisme) yang menjadi simbol pemersatu  rakyat dan mahasiswa dalam gerakan reformasi seakan tinggal angan-angan  belaka dan busa-basa-basi. Alih-alih ‘membersihkan negara,’ semakin hari  justru ‘kekumuhan berlapis-lapis’ semakin menebal dan semakin kental.  Korupsi sistemik-endemik justru semakin mengganas menggurita.
      Korupsi yang dulu tersentral di kalangan elit dan  pusat kota, kini justru menyebar merata di seluruh kalangan dan  daerah-daerah. Alhasil, hampir 250 juta manusia Indonesia mengenal dan  mencicipi kue korupsi. Ekspansi korupsi, gurita bermutasi di bumi  pertiwi, tradisi korupsi menjadi-jadi, ‘bukan basa-basi.’
     Kegagalan korupsi yang utama disebabkan oleh tidak  konsistennya negeri ini dalam ‘bercita-cita.’ Keteladanan kepemimpinan  menjadi sumber masalahnya. Sangat kontras dengan gerak spirit pidato Zhu  Rongji yang mereformasi tradisi korupsi dari atas ke bawah, kita justru  terbalik. Seperti gerak pisau belati, perang anti korupsi di sini  tumpul di atas, tajam ke bawah.
      Para pemimpin berkoar-koar, tapi saling melindungi  diri, korps dan instansi. Lempar batu sembunyi tangan, maling teriak  malng, setan teriak setan. Tak heran jika akhirnya rakyat melakukan hal  sama, karena memang seperti itulah keteladanan kepemimpinan yang  diajarkan. Pemimpin sibuk ‘membersihkan’ rakyat, rakyat sibuk  ‘membersihkan’ pemimpin. Lingkaran setan korupsi sistemik-endemik,  akhirnya setan korupsi terus melenggang semakin mengembang.
     KPK dan Polri yang seharusnya bersinergi malah  berkompetisi saling menggembosi energi. Penjara gagal menjadi penjera.  Hukum hanya permainan politik penguasa. Ketegasan dan kepastian hukum  hanya retorika. KPK hanya menjadi pelengkap penderita. Kita semua,  terlebih rakyat jelata, nyaris putus asa. Maka, wacana hukum mati  koruptor, kini suka tak suka, jangan hanya sekadar wacana. Hukuman mati  bagi koruptor adalah harga mati jika kita sebagai bangsa masih ingin  selamat dan bertahan dari kehancuran yang tak tertolong.
    Hari ini, wacana hukuman mati bagi koruptor kini  kembali digulirkan oleh PBNU. Organissasi terbesar umat Islam ini baru  saja menutup Munas dan Konbes dengan menghasilkan keputusan yang telah  direkomendasikan kepada presiden SBY. Salah satu dari rekomendasi itu  adalah berkaitan dengan masalah korupsi. NU menegaskan agar koruptor harus dihukum mati hartanya disita.
     Menanggapi rekomendasi NU mengenai hukuman mati ini beberapa tokoh menyambut baik. Salah satunya adalah Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso,  yang menilai seharusnya tak hanya teroris dan narapidana narkoba yang  dihukum mati, namun juga koruptor yang merugikan uang negara.
   Jaksa Agung Basrief Arief, berpendapat koruptor bisa dihukum mati asalkan ada kesepakatan dan  regulasi. Basrief mengatakan wacana hukum mati koruptor harus dipandang  secara menyeluruh agar bisa dilakukan perbandingan dalam prosesnya.  Menurutnya, regulasi hukum mati koruptor yang ada saat ini baru ada bagi  koruptor dana bencana alam nasional, sementara regulasi untuk koruptor  biasa masih belum ada.
      Sementara itu, Ketua MK Mahfud MD juga sependapat dengan hasil Munas NU, bahwa koruptor-harus-dihukum-mati,  karena koruptor tidak kalah berbahaya dari teroris. Mahfud menambahkan,  di dalam konstitusi ada pasal 12 dan pasal 22 UUD 1945 yang berbicara  tentang keadaan bahaya dan kegentingan bagi negara sehingga pemerintah  harus mengambil langkah-langkah khusus. Saat ini, korupsi juga mengancam  keselamatan bangsa dan negara, karena itu hukuman mati cocok bagi  koruptor.
      Tidak ada kata terlambat untuk kita berbenah. Jika  kita semua benar-benar bertekad bulat dan berkomitmen ‘bukan basa basi’  untuk menyelamatkan negeri ini, maka tak ada pilihan dengan berbagai  eksperimen hukum, entah apapun alasannya, kendatipun isu HAM kerap  menjadi pengganjalnya. Reformasi ‘bukan basa-basi,’ merevolusi mental  dan tradisi korupsi, menggulirkan perang sejati memutus lingkaran setan  korupsi dari detik ini. Dan hukuman mati koruptor adalah harga matii! 
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
 
No comments:
Post a Comment